Sabtu, 29 Desember 2018

Didoakan Orang Gila (Part 2)

Bayangkan ya...
Orang - orang berbondong - bondong berjalan menuju pintu keluar sementara kita berjalan menuju pintu masuk. Jadi kami berjalan melawan arus. Yah, hitung - hitung pijat gratis lah di senggol sana sini *hehe. Tak lama kami berjalan, dari arah belakang aku merasa ada yang mencolek bahuku. Omegot, siapa si ni orang iseng banget. Aku abaikan saja dan terus mempercepat langkah. Eh ternyata colekan itu tidak berhenti, kesal pun akhirnya aku menengok ke arah belakang. 
"Mbak maaf ya, roknya jenengan jadi basah", katanya dengan nada sopan dan raut muka bersalah.
Oh ya, "jenengan" adalah bahasa Jawa yang sangat sopan untuk kata ganti orang kedua (kamu). Mendengar dia meminta maaf dengan tulus (sepertinya) aku pun merespon santai.
"Oh ya ya, gak papa kok MAS", eh ternyata ya, dia itu mas mas alias laki laki.
Aku merasa terenyuh saja, dia rela membuntuti aku untuk minta maaf. Padahal mungkin dia bertujuan untuk pulang, I mean harusnya dia berjalan berlawanan arah denganku. Tapi demi meminta maaf kepadaku dia rela berjalan berlawanan arah. Cie cie, berasa diperjuangkan *abaikan. Padahal ya, aku sudah bilang tidak apa - apa sejak di awal botol minumnya tumpah itu. Apa jangan - jangan dia modus? Enggaklah, wajah kalem gitu. Habis minta maaf pun dia tidak mengatakan apa - apa lagi dan langsung menghilang. Eh busyet dah tuh anak, udah macam makhluk ghoib saja.
Cerita berganti fokus, dari yang tadinya aku diperjuangkan sekarang giliran aku yang memperjuangkan (pen ; memperjuangkan salim dengan Abah). Sejujurnya aku sangat tidak suka dengan konsep desak - desakan ala Indonesia. Konsep ini banyak terjadi lho dibeberapa daerah. Menurutku ini agak tidak adil. I mean, siapa yang kuat dia yang akan menang. Coba kalian amati, dalam 'desak desakan' macam ini. pasti anak - anak muda lah yang lebih dulu mendapat giliran. Karena mereka bisa menyerobot ke sana kemari dengan gesitnya. Maklumlah darah muda. Sebenarnya untuk masalah seperti ini, aku bisa salah ikut ikutan nyerobot ke sana ke sini. Toh, aku gak lemah lemah amat. Tapi kasian aja gitu, orang orang tua yg sama sama udah nunggu lama. Apalagi karena darah tua mereka, berdiri lama dikit kaki langsung kram. Aku tuh, 'suker' (apa si bahasa Indonesianya? intinya gak tahan lihat ginian). Gak tertib, harusnya lebih baik pakai budaya antri. Toh pasti semuanya dapat jatah kok salim sama Abah. Abahnya juga mau nungguin. Kasian aja para petugas yang mengatur barisan. Mereka udah teriak teriak memberi intruksi tapi malah tidak digubris. Mereka tetap aja gak tertib termasuk saya *haha. Karena memang kalau kamu udah masuk ke arus barisan itu, mau gak mau kamu memang harus berjuang untuk maju. Karena tidak ada jalan mundur. Badan terdorong ke sana kemari, perut ke genjet sampai kram padahal belum sarapan. Luar biasa perjuangannya.
Setelah melewati arus desak desakan itu, aku justru "blank" ketika sampai di depan Abah. Spechless. What an Amazing day. Aku berada di depan orang besar di kotaku dan aku akan menyentuh tangannya. Omegot. Gak berasa. Serius gak berasa. Kayak bukan kenyataan aja gitu. Bayangin saat itu otakku blank, ditambah hanya sekitar satu detik aku salim sama Abah. Tetibanya aku udah salim aja dan berjalan menjauhi Abah. "Tadi aku udah salim belum si?", benar benar gak berasa. Satu satunya yang aku ingat adalah tangan Abah lembut banget. Serius, tanganku itu udah termasuk lembut (kata teman - temanku), tangannya Abah jauh lebih lembut. Itulah gaes, bedanya tangan yang biasa digunakan untuk berdzikir dan memohon kepada Allah dengan tangan yang digunakan untuk sesuatu yang gak jelas.
Singkat cerita, aku dan kawanku cari makan dulu di sekitar situ sebelum pulang. Setelah pesan makanan aku duduk dan makan sambil lahap. Tak berapa lama duduklah seseorang di sebelah temanku. Dia bertanya basa basi. Kemudian dia mulai agak serius.
"Nok, cari jodoh itu yang baik. Yang bisa ngaji dan sholeh. Jangan hanya pandang hartanya saja."
Dalam hati gue, "wah keren nih orang, hatinya murni". Btw, "NOK" adalah panggilang untuk anak perempuan yang belum menikah (ada unsur menyayangi dalam kata tersebut).
"Saya doakan, semoga kalian bertemu dengan jodoh yang baik, sholeh, bisa kerja, dan bisa menolog dunia akhirat." dia melanjutkan
Dalam hati gue, "Wah makin keren nih orang". Kami hanya menjawab doanya dengan "AMIN".
Tak seberapa lama berselang, aku baru sadar kalau ternyata di sebelah orang gila itu adalah teman sekampusku dulu. Itu pun aku sadar karena ketika aku menoleh, aku merasa dia tersenyum padaku. Aku gak terlalu mengenali wajahnya pada mulanya, tapi lama kelamaan ternyata memang dia temanku.
Aku berbasa - basi menyapanya. Sambil ketawa - ketawa merespon jawabannya karena aku merasa ada unsur kelucuan di dalamnya. Orang yang tadi mendoakan kami menyeletuk.
"Pacarnya ya mbak?" tanyanya mengagetkanku
"Bukan, bu. Ini teman kuliah." jawabku
"Lho kalau pacarnya juga gak papa, siapa tahu jodoh?" aku langsung menyerngit (heh?)
***
Kami sudah selesai makan dan kami hendak pulang, sebelumnya kami membayar makanan kami dulu. Sambil memberikan kembalian, ibu penjual nasi bilang kalau orang yang tadi mendoakan kami itu adalah orang gila. What?? jadi tadi kami duduk di sebelahnya orang gila. Udah gitu, kami dinasehati dan didoakan orang gila. Wow, amazing.
Tapi semua itu aku pikir memang ada takdir dari Tuhan. Kata teman - teman ku yang merespon ceritaku ini, mayoritas bilang kalau aku harus bersyukur didoakan orang gila. Doanya orang gila itu siapa tahu lebih mustajab, sebab mereka itu tidak punya dosa. Selain itu, siapa tahu orang gila itu adalah jelmaan malaikat. Buktinya, kata - kata yang dia keluarkan cenderung berbobot dan bermanfaat. Skenario Allah memang luar biasa. Terimakasih Allah.
- - -
Itu ceritaku, mana ceritamu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar